|
Sumber: ilustrasi.(MI) |
KALAUPUN tidak bisa disebut sebagai The Best of King setidaknya pada era kekuasaan Bani Abbasiyah, maka Khalifah Harun Al Rasyid (766—809) dapat disebut sebagai seorang raja, presiden, atau khalifah yang paling memiliki komitmen sangat tinggi terhadap kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan terutama sangat menghormati ulama atau orang yang diberikan karunia oleh Allah swt berupa ilmu.
Komitmen Khalifah Harun Al Rasyid terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan yang terkait dengan hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari dua indikator.
Pertama, komitmen terhadap pentingnya ilmu pengetahuan diwujudkan dengan seringnya Beliau sebagai pemimpin yang sangat disegani untuk menempuh rihlah (perjalanan) mencari dan mendatangi para ulama besar, di antaranya Imam Syafi’i dan Imam Malik. Yang kemudian menarik adalah beliau selalu mengajak kedua putranya, Al-Amin dan Al-Ma’mun, yang pada era kepemimpinannya kemudian kedua putranya ini berhasil mengantarkan kekhalifahan Abbasiyah memasuki era keemasan Islam (The Golden Age of Islam), saat itu Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia.
Penghormatan Sang Khalifah Harun Al-Rasyid terhadap para ulama juga dapat disimak dari sebuah kisah perjumpaan beliau dengan Al Kisa’i, seorang ahli bahasa, di mana kedua anaknya menjadi muridnya. Menariknya keduanya (Al Amin dan Al Ma’mun) selalu berebut untuk menyiapkan (menata) sandal sang kiai. Kemudian, ini menjadi bahan dialog sang Khalifah dengan sang kiai tentang siapa yang lebih terhormat? Mendapat pertanyaan demikian tentu Al Kisa’i menjadi serbasalah ketika sang khalifah menyebutkan bahwa yang lebih terhormat adalah orang di mana kedua anak raja menyiapkan sandalnya.
Kedua, bagian terpenting dari komitmen Beliau terhadap dunia ilmu pengetahuan ialah ketika penghormatan kepada para ulama tidak saja berupa sikap tawadunya beliau kepada para ulama dengan mendatangi (tidak memanggil ulama ke istana). Sampai kepada penghormatannya terhadap ilmu pengetahuan dengan membuat kebijakan berupa politik anggaran yang mencerminkan upaya konkret dengan misalnya memberikan gaji kepada para ulama senilai 50 hingga 200 dinar yang jika dikonversikan senilai Rp150 juta hingga Rp600 juta per bulan dengan kurs 1 dinar setara Rp3,8 juta lebih. Dikisahkan pula bahwa sang Khalifah memberikan penghormatan atas karya tulis dengan ditimbang dan diganti dengan emas.
Right, itulah komitmen Beliau terhadap ilmu pengetahuan yang sudah tidak diragukan lagi dan tercatat dengan tinta emas sejarah peradaban tidak saja bagi dunia Islam, tetapi juga bagi dunia global secara umum. Komitmen sang Khalifah kiranya bisa menginspirasi para pemimpin dan atau penentu kebijakan hari ini untuk memperkuat komitmen politik anggaran dalam bidang pendidikan dan kemajuan riset dan teknologi. Bahwa, kemudian kedatangan tentara Mongol yang dipimpin Hulagu Khan dengan pasukannya yang meluluhlantakkan semua jejak peradaban menjadi semacam mimpi buruk yang “mengakhiri” puncak kejayaan sebuah peradaban penting di Baghdad.
Setetes Air Kencing
Di antara peristiwa penting dalam rangkaian episode rihlah ilmiah Beliau adalah perjumpaannya dengan Ibnu Samak. Karena kehausan, sang Khalifah minta semangkuk air. Lalu, Ibnu Samak memberikan semangkuk air minum kemudian Ibnu Samak berkata, “Wahai amirul mukminin seandainya Anda terhalangi meminum-minuman ini (untuk menyelamatkan nyawa), dan misalnya orang yang menguasai minum ini mau menjual dengan harga mahal satu mangkuk air ini, dengan apa kira-kira Anda akan membelinya?” Harun Al-Rasyid menjawab “dengan setengah kerajaanku”.
Kemudian Ibnu Samak bertanya lagi, “Seandainya air yang sudah diminum tadi tidak bisa dikeluarkan lagi maksudnya tidak bisa keluar atau terganggu karena suatu penyakit orang tidak bisa kencing (buang air), dengan apa Anda akan menebusnya?” “Kalau situasinya sudah mengancam jiwa, penyakitnya seperti itu bahkan seluruh kerajaan ku pun aku mau bertukar biar sembuh,” jawab sang Amirul Mukminin.
Jika demikian, ujar Ibnu Samak, “Sesungguhnya harga sebuah kerajaan mu hanyalah seteguk air dan setetes air kencing, sungguh tidak pantas engkau berlomba-lomba memperebutkannya”.
Kisah menarik ini dengan ringan dan lugas dituturkan oleh Dr. Fakhruddin Faiz dalam ngaji filsafatnya yang mengutip sebagian kisah tentang Harun Al-Rasyid ini dari kitab Tarikh Al Khulafa.
Nasihat Ibnu Samak kepada Khalifah Harun Al-Rasyid sejatinya memberikan pesan penting kepada kita agar kita semua tidak terlalu berjibaku mati-matian dan kadangkala sering mempertaruhkan segalanya untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan (politik) yang nilainya tidak lebih dari setetes air kencing.
Namun, meskipun nilainya tidak lebih dari setetes air kencing bukan berarti kekuasaan itu menjadi tidak penting. Perjuangan politik itu tentu memiliki makna penting dan strategis untuk mewujudkan kemajuan masyarakat dan bangsa. Hendaknya jangan sampai politik hanya untuk politik dengan dimanfaatkan hanya untuk kepentingan sesaat bagi kelompok tertentu dengan menebar kontroversi dan kegaduhan yang tidak produktif, misalnya, tetapi baiknya dan alangkah indahnya jika politik atau kekuasaan dimanfaatkan untuk membuat, menebar, menyemai benih-benih kebaikan dan kemajuan bagi martabat rakyat dan bangsa dengan memberikan komitmen pada kemajuan peradaban umat manusia.
Seperti apa pun kekuasaan tetaplah menjadi amanah yang tidak saja kemudian dipertanggungjawabkan secara konstitusional, tetapi pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan juga di hadapan Allah swt, Tuhan Yang Mahakuasa.
Kekuasaan setidaknya harus tetap dikelola dengan amanah dan profesional agar mimpi buruk yang terjadi atas Dinasti Abbasiyah yang pada akhirnya runtuh pada era Khalifah Al Musta’shim (1258) sebagai akibat dari dua hal. Pertama, lemahnya diplomasi atau sebut saja komunikasi yang salah dan kedua yang paling memprihatinkan ialah ada kekuatan internal yang bermain dari dalam secara masif dengan tokoh kunci justru orang kepercayaan khalifah, ialah Ibnu Alqami, dengan strategi di antaranya melemahkan kekuatan militer.
Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’ menerangkan bahwa Menteri Alqami terus-menerus mencari peluang untuk menjungkalkan Dinasti Abbasiyah dan berusaha sekuat mungkin agar tampuk khilafah berpindah ke tangan orang-orang Alawiyin. Utusan rahasia berlangsung antara dirinya dan orang-orang Tartar (Mongol). Sementara Al-Musta’shim tenggelam dalam kelezatan hidupnya tanpa mampu membaca kondisi yang sedang berkembang sehingga dia pun tidak berusaha memperbaiki kehidupan negeri yang mulai karut-marut. Ah sudahlah imajinasi saya kok kemudian menjadi liar, semoga itu hanya terjadi di negeri seribu satu malam sana. Wallahualam bissawab.
Artikel ini tayang di Harian Lampung Post edisi Selasa, 2 Agustus 2022.
Silakan download GRATIS versi pdf atau png, semoga bermanfaat.