Pendahuluan
Tidak dicantumkannya frasa agama dalam draft peta pendidikan nasional 2020-2035 telah menjadi perdebatan yang sangat serius. Meskipun kemudian setelah mendengarkan banyak masukan baik dari Ormas Muhammadiyah dan NU serta berbagai kalangan lainnya termasuk dari forum guru besar pada akhirnya Mas Menteri Pendidikan Nadim Makarim “mengalah” dengan menyebut bahwa “Kalau ada aspirasi dari masyarakat kata 'agama' itu penting dalam frasa itu, ya kita silakan masuk dalam peta jalan. Nggak masalah. Nggak perlu panik, nggak perlu menciptakan polemik, kita terbuka," tutur Mas Menteri sebagai mana ditulis oleh CNN Indonesia (Rabu, 10/03/2021).
Mencoba memahami Sebagian kalangan yang menyoal keberadaan agama setidaknya ada dua pemikiran atau pandangan yang muncul. Pertama, bahwa barangkali agama dipandang sebagai faktor penghambat kemajuan kehidupan bahkan Karl Max menyebutnya sebagai candu masyarakat. Kedua, agama dipandang sebagai sumber radikalisme atau lebih tepat dimaknai sebagai akar kekerasan.
Agama Sebagai Petunjuk dan Pembebasan
Menganggap agama sebagai belenggu menuju kemajuan atau bahkan menganggapnya sebagai candu adalah pandangan dari kalangan anti tuhan atau ateis yang sesungguhnya sama sekali tidak memiliki argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Agama sejatinya merupakan manual book bagi umat manusia seiring dengan proses penciptaannya, sehingga mengabaikan agama dan atau menyoal keberadaan agama sama halnya memasuki hutan belantara atau lautan lepas tanpa arah dan panduan hendak menuju kemana.
Tanpa panduan agama upaya manusia
untuk mencapai suatu kebenaran dan kebaikan tentu akan terjebak pada subyektifitas
yang berujung kepada klaim kebenaran dan penghakiman bahwa hanya diri dan
golongannya lah yang benar. Tentu hal demikian akan bertolak belakang dengan
hakikat penciptaan manusia yang plural (beragam) dengan berbagai konsekuensi
dan implikasinya yang justru Tuhan memberikan kebebasan kepada umat manusia
dengan dibekali akal dan pikiran untuk kemudian menentukan pilihan-pilihan
dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
Kecurigaan kepada agama
sesungguhnya bukan merupakan sikap yang baru muncul dari banyak kalangan
termasuk “pemerintah”, ialah apa yang pernah disampaikan oleh Menristek Dikti
terdahulu (M. Nasir) ketika menghadiri deklarasi Konsorsium PTN Kawasan Timur
Indonesia Menolak Paham Radikalisme di Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun
2017 yang lalu, bahwa sebaiknya Pendidikan Agama disampaikan saja di semester
VII (tujuh).
Bahkan muncul issue yang lebih ekstrim ialah pemikiran tentang penghapusan pendidikan agama yang tentu saja membuat Mas Menteri Nadiem Makarim menampiknya. Sejatinya Pendidikan Agama tidak masalah dihapus dengan syarat diganti saja dengan pelajaran al-Quran dan Hadits, Fiqih, Sejarah Peradaban Islam, Akidah Akhlak—supaya iman dan moralnya baik, dan Bahasa Arab (optional). Bahasa Arab menjadi penting karena merupakan alat utama membedah khazanah ilmu agama (Islam). Tentu kemudian bagi setiap siswa hendaknya mendapatkan Pendidikan keagamaan sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
Pendidikan Agama
Sedini Mungkin
Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda “Ajarilah anak-anakmu ‘Laa
ilaaha Illallah’ ketika mereka mulai berbicara, dan talkinkanlah kepada
mereka ketika menjelang wafatnya dengan ‘Laa ilaaha Illallah’, Sesungguhnya
barangsiapa ucapan pertamanya ‘Laa ilaaha Illallah’ dan ucapan
terahirnya juga ‘Laa ilaaha Illallah’ lalu ia hidup selama seribu tahun,
maka ia tidak akan ditanya tentang satu dosapun” (HR. Baihaqi). Hal ini mengisyaratkan kepada kita
bahwa menanamkan nilai-nilai agama haruslah sejak dini.
Tokoh agama yang sangat berpengaruh
sebut saja misalnya Imam Syafi’i sudah hafal al-Quran saat masih berumur lima
tahun. Musa La Ode Abu Hanafi, hafiz cilik yang masih berusia 7 tahun, tahun
2016 menorehkan prestasi yang membanggakan untuk Indonesia. Musa memenangi kompetisi
penghafal al Quran di ajang Internasional. Hal itu merupakan pesan tentang
keajaiban yang Allah SWT tunjukkan atas kecanggihan kalam-Nya yang bisa
dihafalkan oleh jutaan umat yang secara sungguh-sungguh mengusahakan bahkan
saat masih balita sekalipun.
Dalam hal shalat misalnya Nabi SAW
mengajarkan “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia
tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka tidak mengerjakan shalat pada usia
sepuluh tahun, dan (pada usia tersebut) pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR.
Ibnu Majah, Abu Daud, Ahmad dan Hakim). Dengan demikian menanamkan pendidikan
agama sejak dini adalah merupakan suatu perintah suci yang memang sangat
penting. Jika terlambat belajar agama justru berbahaya, tidak sedikit Mahasiswa
yang basis ilmu agamanya minim lantas belajar filsafat malah jadi ‘sinting’.
Kekhawatiran Pak Menteri Ristek
Dikti M. Nasir bahwa pendidikan agama di perguruan tinggi sebaiknya
dilaksanakan di semester akhir (tujuh) untuk mengantisipasi menguatnya paham
radikalisme sepertinya tidak sepenuhnya benar. Dari segi paradigma teori term
radikalisme sendiri juga masih perlu dituntaskan. Term radikalisme dibangun
dengan latar belakang kebencian Barat terhadap Islam, mereka menganggap agama
(Islam) sebagai pemicu budaya kekerasan. sebenarnya term radikalisme yang
dimaknai sebagai ajaran dan budaya kekerasan akan lebih tepat disebut sebagai
violenisme (baca Menyoal Radikalisme, Lampost 9 Juni 2017).
Agama dan Kekerasan
Karen Amstrong (2014) Peneliti
Agama-Agama dalam Field of Blood Religion and History of Violence yang
sudah dialihbahasakan oleh Mizan Field of Blood Mengurai Sejarah
Hubungan Agama dan Kekerasan (2016), berkesimpulan bahwa alasan sesungguhnya
bagi perang dan kekerasan yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia sangat
sedikit hubungannya dengan agama. Alih-alih berakar dari inti ajarannya,
fenomena kekerasan merupakan reaksi terhadap kekuasaan negara, kapitalisme dan
modernisme yang dibungkus dengan bahasa agama. Bahkan kalau kita mau ekstrim
menyebut apa yang terjadi belakangan di kawasan Timur Tengah lebih merupakan
perebutan ladang minyak (ekonomi) termasuk dagang senjata perang ketimbang soal
ideologis-agama.
Dengan demikian sangat tidak argumentative
jika memandang pendidikan agama sebagai sesuatu yang menjadi akar masalah
budaya kekerasan (violenisme) yang Barat menyebutnya dengan radikalisme.
Pandangan bahwa mempelajari agama secara mendalam (radikal) menjadikan
seseorang menjadi ekstrim dan keras adalah pandangan yang sesat dan
menyesatkan.
Pemahaman dan praktik beragama yang
radikal (mendalam) bahkan sempurna ialah apa yang dicontohkan oleh Baginda
Rasulullah SAW, Beliau adalah manusia terbaik utusan Allah SWT dimuka bumi
dalam mengemban misi Islam Rahmatan li al-alamiin untuk menyempurnakan
akhlak (moral) manusia. Terhadap orang yang mencaci maki, meludahi, menyakiti
dan hal-hal tidak manusiawi lainnya Beliau balas dengan kebaikan, dikunjungi
dan dihadapi penuh kesabaran serta doa yang selalu dipanjatkan agar mereka
mendapat hidayah (lihat QS. Al-Maidah: 118). Menurut riwayat yang masyhur
ketika membaca ayat ini Beliau ulang-ulang diiringi isak tangis sampai
menjelang fajar.
Tidak saja keluhuran sikap
personal, Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin pertama di muka bumi yang berhasil
membangun peradaban 'demokratis' berketuhanan dengan membuat Piagam Madinah
dimana kemudian piagam ini disebut oleh Prof. Jimly Assidiqie (2010) dalam Konstitusi
Dan Konstitusionalisme Indonesia sebagai "piagam tertulis pertama
dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi
dalam arti modern". dimana untuk pertama kalinya dalam sejarah bernegara
umat manusia yang melindungi dan menjamin keberagaman suku dan keyakinan tetap
diberikan kebebasan dan bahkan perlindungan dari Rasulullah SAW. Namun demikian sejauh ini tidak ada rujukan
nyata untuk menyebut negara yang didirikan Nabi Muhammad sebagai negara Islam.
Penutup
Kiranya tidak berlebihan jika kemudian Kementerian Pendidikan dan
kebudayaan dibawah pimpinan Mas Menteri tidak saja sekedar merevisi peta jalan pendidikan
karena merasa ada kelompok yang memintanya namun harus menjadi komitmen bersama
bahwa persoalan keimanan dan ketaqwaan yang merupakan bagian dari buah
keberagamaan ialah merupakan ruh penting dari sebuah proses pendidikan yang ianya
merupakan amanah konstitusi dan regulasi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 3
UU 20/2003 (Sisdiknas) bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tidak dijadikannya beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bagian integral dari kompetensi Pelajar Pancasila pada draft peta jalan Pendidikan 2020-2035 tentunya dapat dinilai sebagai mendesain Pendidikan tanpa mementingkan persoalan agama sehingga sama halnya mencoba membuat habitat baru bagi ikan tanpa air, mungkinkah?? Atau persisnya menciptakan robot-robot bernyawa tanpa hati nurani yang hanya menghambakan diri kepada kemajuan teknologi.
*****
Nakal, kritis dan santun hehehe
namun insya Allah selalu menawarkan alternatif pemikiran merupakan gaya tulisan
seorang salamun. Berbagai sudut pandang dari yang strategik konseptual sampai
teknis implementatif dikupas tuntas oleh
76 penulis dengan berbagai latar belakang keilmuan dapat dinikmati dalam buku
"Merdeka Belajar, Merdeka Mengajar" yang dipersembahkan sebagai kado
76 tahun kemerdekaan Indonesia.
Dapatkan buku keren ini dengan
GRATIS disini atau mensitasinya.
Terimakasih Prof. Janner Simarmata beserta seluruh Tim Yayasan Kita Menulis dan tentunya Bapak, Ibu, Teman dan Sahabat sesama penulis yang setidaknya telah berikhtiar untuk memberikan kontribusi pemikiran dan tindakan bagi bangsa dan negara tercinta menuju Indonesia tangguh yang bermartabat dan terus bertumbuh...
https://kitamenulis.id/2021/08/17/merdeka-belajar-merdeka-mengajar/
https://web.facebook.com/kmenulis
Dirgahayu RI ke 76 tahun.
Indonesia Tangguh, Indonesia
Tumbuh.
#BangunIndonesiadenganMembaca
#BangunIndonesiadenganLiterasi